BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Friday, November 12, 2010

Surat Untukmu Sahabat






tuhan
aku ingin kau di sampingku
malam ini terlalu sunyi untuk dilewati sendiri
aku ingin kau bernyanyi atau berkisah
tentang negeri yang jauh
negeri dengan cuaca yang bisa diterka
janji yang tak pernah dihianati

di sini
sunyi selalu membawa kabar
waktu yang selalu gugur percuma
hari yang dikubur luka.

tuhan
hatiku terkoyak
siapa melantakkan larik larik sajakku
melumatkan bahasa
menghancurkan kata kata
aku hanya bisa diam
aku hanya bisa bisu
aku hanya bisa tidak percaya
aku hanya bisa tidak mengerti
aku hanya bisa tidak melakukan segala
bahkan doa, kurasa, sudah tak bermakna.

perih

aku hanya bisa mati !

***

Sahabatku, kutulis surat ini hanya karena aku
 sudah tak mampu lagi menyimpannya dalam
halaman-halaman perasaanku ini. Tentang kenyataan hidup ku.
Tentang ikatan napas ku bersama orang-orang
tercinta yang terasa begitu kecil dalam pusaran raksasa
kemewahan dunia ini.

Bagiku hidup ini terlalu rahasia. Seringkali aku ingin menumpahkan
 air mataku hanya karena telah begitu letih menjawab
 pertanyaan-pertanyaan hidup ini; hanya karena tak tahu
 bagaimana lagi aku harus menumbuhkan kerelaan untuk melangkah.

Sahabatku, aku ingin menyelesaikan semua persoalan ini.
Aku ingin hidup tenang. Tetapi selalu saja tak kunjung bisa, hanya
 karena aku tak mampu mengeluarkan banyak jawaban yang nyata.

Aku memang sempat mengingat segalanya.
Masa silam yang teraba begitu saja, membuatku menemukan
rasa sesal dan kecewa yang sangat dalam.
Aku gagal melahirkan anak-anak bernama kenangan dan pengalaman.

Ingin sekali aku demikian rapat menyembunyikan apapun yang
membuatku sedih, tapi selalu saja tak bisa.
Ingin sekali aku menyimpan kesedihan ini dengan tabah, seperti
 juga orang tua yang sebenarnya demikian bertahan
bertahun-tahun menyembunyikan kesedihan dari anaknya.
Tapi yang terjadi padaku, keinginan untuk menyembunyikan
kesedihan itu justru hanya keluh kesah panjang yang
menghabiskan waktuku untuk mulai menjalani hidup ini dengan baik.

Sahabat, aku ingin meninggalkan semua ini.
Aku ingin pergi ke tempat yang benar-benar baru; tempat yang
 tak sedikitpun pernah merekam kehadiranku sebelumnya.


Aku telah menghabiskan waktu hanya untuk belajar
 mencerca kenyataan.
Penyakit ini telah melemparku ke dalam rimba ketakutan
 dan keraguan menghadapi dunia.
Telah kulewati waktu diantara hangar-bingar
 omong-kosong orang-orang.
Telah kupungut hidup diantara hilir-mudik keangkuhan dunia.
Aku terseret-seret diantaranya.
Umurku tergilas di dalamnya.
Cintaku diinjak-injak diantaranya.
Rumah megah impianku digusur oleh kekonyolannya sendiri,
dirubuhkan oleh kenyataan yang ada.
Aku dibakar di ruang keterasinganku sendiri.
Dunia berjalan lebih cepat meninggalkan impianku.
 Aku dicabik-cabik oleh rasa keterhinaan mengeja
kalimat panjang sebuah kerumitan dunia.
Aku dihimpit jeritku sendiri.
Aku diejek ketidakmampuan, diejek ketidaksehatan.

Sahabatku hari-hariku terasa pendek dan nyeri.
Kusandarkan ia pada doa dan keberuntungan hari esok.
Kalau-kalau…ah, selebihnya memang hanya menghemat
kesedihan tanpa sedikitpun menguranginya.
Ingin sekali aku menjalani sisa usia ini dengan lantang,
berpaut dengan keriuhan bumi.
Tapi ternyata hanya kesunyian yang ada.
Hingga tiba saatnya aku hanya percaya pada dua kawan,
yaitu ketenangan dan kesunyian.

Inilah aku, sahabat.
Inilah aku yang akan mengisi sisa usia dengan gemetar.
Hanya melakukan sesuatu yang aku bisa, meski menelantarkan
banyak hal yang lainnya.
Inilah aku yang menimang kekalahan dengan kedua tangan.
Barangkali aku akan tenang hanya dengan memindahkan
 kekalahan ini ke tempat yang lain.

Aku tak tahu, beberapa bulan ke depan, atau beberapa
tahun ke depan, jika kenyataan ini masih begini, kepergianku
 akan dimulai.
Hidup memang punya tikungan yang tak bisa kita tebak.
Seperti juga hitungan tentang usia.
Bukankah setiap hitungan ke depan yang sudah kita
ketahui angkanya belum tentu akan terhitung?
Karena kematian—direncanakan atau tidak—akan membawa
 kita kembali pada kekosongan.

Aku tahu tak ada perubahan.
Tapi aku punya satu perubahan yang kian tajam dalam
 jiwaku, yaitu dendam pada hidup.
Perasaan itu kian tumbuh dalam dadaku.
Semenjak vonis dokter itu menghujamku.
Aku tak tahu dendam itu kelak menjadi apa.
Apakah ia menjadi kemenangan atau justru kekalahan
 yang lebih hitam, aku tak tahu.
Tapi aku mulai merasakan, kesunyian telah menungguku,
di ujung jalan itu.
Dan kelak tiba waktunya aku akan meninggalkan segalanya,
termasuk apa yang benar-benar sangat aku cintai.

Ada saatnya aku mesti membuang seluruh kenangan dan
kebersamaan, hanya karena mesti kembali pada pengertian
 bahwa diri ini sesungguhnya adalah puisi tentang kesendirian…

Terima kasih untuk sahabatku  sesungguhnya, aku masih ingin
tetap bersamamu...

Untuk yang selalu menemaniku tanpa lelah, mengingatkanku
 dikala lupa, membesarkan hatiku dikala aku jatuh.
Terimakasih, engkau telah memberiku ruang dan waktu,
relakan aku tetap berada di dalamnya...
meski hanya sejenak
meski hanya sejenak...

0 comments:

Post a Comment